Alaku
Alaku
Daerah  

Kisah Pangeran Ali, Camat Perang Sampai Bon Perang

Cloud Hosting Indonesia

Oleh : Agustam Rachman,MAPS, Penulis Sejarah, Menetap di Yogyakarta.

Awal September 1896, hari masih pagi, seorang perempuan muda dengan menggendong bayi tergopoh-gopoh menuju dermaga Painan Sumatera Barat.

Hari itu sesuai jadwal akan ada kapal layar yang akan berangkat menuju Inderapura. Tampak wajah perempuan yang bernama Putri Gadimah itu murung, matanya sembab, berhari-hari ia menangis meratapi kematian suaminya Badu Gelar Kari Mudo dua minggu sebelumnya.

Tak lama kapal mulai berlayar, cuaca terang dan ombak tenang, tetiba kain gendongan bayi perempuan itu terlepas dan jatuhlah sang bayi ke laut.

“Ya Allah ujian apa lagi ini, dua minggu yang lalu suamiku Engkau panggil keharibaan-Mu, sekarang apakah anakku akan menyusul” batin Putri Gadimah yang langsung pingsan melihat bayinya terombang-ambing dibawa ombak. Beruntung bayi itu dapat diselamatkan oleh para penumpang.

Takdir anak manusia tak dapat ditebak , kelak dikemudian hari bayi mungil yang bernama lengkap Muhamad Ali Firman Alamsyah itu muncul sebagai tokoh dan berperan besar dalam perjuangan memerdekakan bangsanya.

MASA KECIL DI INDRAPURA.
Walaupun Ali keturunan dari Marah Muhamad Bakie Gelar Sultan Firmansyah yang pernah menjabat Regent ke III di Inderapura, tapi Ali kecil tidaklah hidup bermewah-mewahan.

Ali hidup sederhana, sehari-hari sering membantu ibunya mencari uang dengan membantu nelayan menjual ikan di pelabuhan Inderapura. Wajar saja nelayan kerap minta bantuannya dalam menghitung harga ikan setelah ditimbang, sebab Ali yang bersekolah di Schakel School Inderapura dikenal sebagai siswa yang cerdas apalagi dalam pelajaran ilmu hitung tapi saat kelas IV atau setahun sebelum tamat karena keterbatasan biaya, Ali harus berhenti sehingga tak mendapatkan ijazah.

MENUJU MARGA KETAHUN
Disuatu sore menjelang magrib ditahun 1920. Ali yang saat itu berusia 24 tahun menghadap ibunya.
“Mak, ambo mintak izin karno ambo ndak marantau ke Marga Ketaun”

“Iyo nak barakeklah jago dighing dan jangan lupo agih kba dkek kaming”

(bu, aku mohon restu sebab aku ingin merantau ke Marga Ketahun”.

“Ya nak berangkatlah jaga diri dan jangan lupa berkabar pada kami”).

Semasa kerajaan Inderapura masih berdiri, wilayah kekuasaannya membentang ke selatan sampai Urai ( Urai saat ini masuk wilayah Kecamatan Ketahun). Wajar jika ibunya tak begitu khawatir melepas Ali sebab waktu itu banyak juga warga Inderapura yang menetap di wilayah Marga Ketahun.

MENJADI GURU. Dengan berjalan kaki menempuh 272 Km tibalah Ali di Marga Ketahun tepatnya di Napal Putih tak butuh waktu lama, Ali langsung diterima mengajar di Sekolah Rakyat Napal Putih, bahkan tak lama kemudian ia menjadi guru kepala di sekolah itu.

Di sekolah yang hanya sampai kelas 3 tersebut Ali mengajar baca tulis hurup latin, berhitung dan arab melayu. Tidak hanya mengajar di Marga Ketahun, Ali juga mengajar di Sekolah Rakyat di Marga Lais.

BERTEMU PUJAAN HATI.
Di Napal Putih, Ali kenal akrab dengan Deram yang baru saja naik jabatan dari Depati kemudian terpilih jadi Pesirah Marga Ketahun melalui pemilihan langsung oleh rakyat selanjutnya ditetapkan sebagai Pesirah Marga Ketahun melalui besluit nomor 52 tanggal 21 Februari 1920.

Ada yang unik, sebenarnya Pesirah Deram memiliki kelemahan, yaitu buta huruf baca tulis huruf latin tapi wibawa dan kecintaan rakyat pada sosok Deram menutup kelemahannya itu.

Sering kali Ali diminta oleh Pesirah Deram untuk menyusun surat huruf latin hal itu tentu dilakukan dengan riang oleh Ali sebab ia berkesempatan untuk bertemu Siti Walimah anak perawan semata wayang Pesirah Deram.

Perasaan Ali pada Siti Walimah tak bertepuk sebelah tangan, gadis itu ternyata menyimpan perasaan yang sama. Singkat cerita mereka berdua menikah dengan pesta yang meriah.

Dari pasangan ini lahir lima orang anak yaitu Kaharuddin, Syamsinar, Mursalin, Sabi’i. M. Ali dan Fidraini Nurma.

Oya, sebenarnya tidak sedikit pemuda di Marga Ketahun yang menaruh hati pada Siti Walimah semasa gadis, tapi nyali para pemuda itu meleleh saat berhadapan dengan sosok pejabat apalagi Pesirah Deram dikenal juga sebagai pendekar silat dengan kumis melintangnya membuat mereka berpikir dua kali untuk menyampaikan hasratnya.

Kehidupan rumah tangga Ali dan Siti Walimah penuh dengan kebahagiaan, namun sayang sekali Allah lebih dulu memanggil Siti Walimah saat usianya masih cukup muda, tinggallah Pangeran Ali dengan kesedihannya ditinggal belahan jiwa.

Banyak keluarga berusaha menghiburnya bahkan ada diantaranya berusaha mencarikan jodoh lagi untuknya. Tapi Pangeran Ali belum berkenan menerimanya.

7 tahun kemudian Pangeran Ali barulah terbuka hatinya untuk menikah lagi. Pilihannya jatuh pada seorang perempuan bernama Siti Zahara anak seorang petani bernama Jayum. Dari pernikahan ini lahirlah Syafri Khan dan Syahida.

PERJALANAN MENJADI PEMIMPIN MARGA.
Ali tidak bertahan lama mengajar di Sekolah Rakyat karena sejak mertuanya diangkat menjadi Pesirah selanjutnya kurun waktu 1920-1925 ia diminta oleh mertuanya menjadi juru tulis marga.

Tahun 1925 sepulang Pesirah Deram dari Mekkah dan berganti nama menjadi Haji Abdul Karim, ia tiba-tiba mengundurkan diri dari posisi Pesirah dengan alasan akan fokus beribadah disisa umurnya.

Tentu alasan Pesirah Deram dapat dimaklumi, sebab semasa muda ia banyak menghabiskan waktu di gelanggang judi sabung ayam sebagai Jenang, ia juga pernah membunuh 37 perompak dari laut yang masuk melalui sungai Ketahun dengan tangannya sendiri.

Pesirah Deram telah berusaha mengalahkan nafsu ingin berkuasanya dan memilih fokus hidup tenang dan khusuk beribadah mohon ampunan Allah (lihat artikel Agustam Rachman berjudul Muning Deram: Pendekar Yang Kalah, https://bengkuluekspress.com, 10-11/2022).

Karena Pesirah Deram mengundurkan diri maka pemerintahan dipegang oleh Ali sebagai Wakil Pesirah tapi hal itu tak berlangsung lama.

Lewat surat nomor 46 tanggal 30 Maret 1925 Residen Bengkulu mengangkat Ali menjadi Pesirah dengan gelar yang sama dengan gelar Pesirah Deram yaitu Rajo Mangkuto.

Banyak prestasi Pesirah Ali pada masa kekuasaannya selama 11 tahun menjabat sebagai Pesirah, dimana rakyat tidak kekurangan pangan, kejahatan tidak banyak terjadi.

Pesirah Ali juga banyak berperan dalam penyusunan peraturan adat, memutus perkara secara adil, dalam bidang pendidikan dia mendirikan 7 Sekolah Rakyat (tapi 4 sekolah dibubarkan oleh Belanda), 12 sekolah PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiah) yang terletak di Desa Napal Putih, Muara Santan, Teluk Anggung, Dusun Jabi, Pondok Bakil, Dusun Raja, Talang Baru, Lubuk Mindai, Urai, Pasar Ketahun dan Tanjung Dalam.

“Tapi walaupun Pangeran Ali posisinya diangkat sebagai Pelindung (Beschermheer) PERTI Marga Ketahun oleh Hoofdbestuur (Pengurus Besar) PERTI di Bukit Tinggi yang Voorzitternya dipegang oleh Haji Sirajuddin Abbas bukan berarti dia hanya mementingkan organisasi PERTI, sebab ada juga 2 sekolah Muhammadiyah yang didirikannya yaitu di Desa Napal Putih dan Tanjung Dalam”, ujar Ahmad Wali cicit Pangeran Ali dalam wawancara dengan penulis akhir Agustus lalu.

“Dua organisasi besar Islam ini sama-sama membawa semangat kebangsaan yang tujuannya untuk menuju kemerdekaan lepas dari belenggu penjajahan”, tambah Dosen Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu ini.
Di Kota Bengkulu sendiri sejak tahun 1928 beberapa Demang, Pangeran dan Pesirah yang berada diwilayah Keresidenan Bengkulu sudah menginisiasi pendirian Vereeniging Semarak Benkoeloe (Yayasan Semarak Bengkulu) yang fokus dibidang pendidikan untuk anak pribumi.

Sampai sekarang Yayasan tersebut tetap eksis salah-satunya membawahi Universitas Hazairin Bengkulu.(lihat: Sejarah Yayasan Semarak Bengkulu, hal : 47-51, Panitia Penyusunan Sejarah Yayasan Semarak Bengkulu, 2016).

Hal itu menunjukkan betapa besarnya semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Sebagai jalan menuju Kemerdekaan.

Sebenarnya aktifitas Pangeran Ali yang diam-diam mengobarkan semangat kebangsaan terus dipantau PID (Politieke Inlichtingen Dienst) atau Dinas Intelijen Politik tapi Belanda tak dapat menutup mata bahwa dibawah pemerintahan Pangeran Ali banyak kemajuan di wilayah Marga Ketahun.

Maka Residen Bengkulu melalui besluit nomor 431 tanggal 18 November 1937 memandang layak untuk mengangkat Pesirah Ali sebagai Pangeran Marga Ketahun.

Bayi merah yang 41 tahun sebelumnya pernah jatuh ke laut kini menjelma menjadi pemimpin tertinggi sebuah marga besar dan berhak memegang tongkat kepala emas yang semula tongkatnya saat jadi Pesirah hanya berkepala perak.

DIPLOMASI BIR. Tahun 1939 pemerintahan Pangeran Ali mengalami ujian berat karena Marga Suku IX Muara Aman Lebong yang dipimpin Pangeran Zainul Abidin menggugat sebagian wilayah Marga Ketahun khususnya wilayah yang terdapat tambang emas seperti Lebong Tandai dan sekitarnya.

Pangeran Ali segera melakukan rapat darurat di kantor Marga seluruh Depati (Kepala Desa) dan tokoh masyarakat diundang dan diminta pendapatnya.

“Seujung jari kita tak akan mundur, bila perlu perang, orang kita berani menikam Residen Amstel dan Controleur Casten di sungai Bintunan untuk membela kehormatan”, ujar Terusin yang bergelar Napal Licin, sekalipun usianya waktu itu belum 25 tahun tapi dia salah satu orang yang tidak mau membungkuk jika bertemu dengan orang Belanda. Seketika peserta rapat bertepuk tangan, bersorak gembira. (Tentang peristiwa Bintunan ini, baca : Agus Setiyanto, Gerakan Sosial Masyarakat Bengkulu Abad XIX, hal: 97, Penerbit Ombak, 2015).

Kembali ke sosok Terusin, dialah yang memamerkan kesaktiannya dengan permainan lesung melayang diudara tanpa tali ketika pesta pernikahan Pangeran Ali dengan Siti Walimah.

Setelah suasana rapat kembali tenang, tibalah gilirannya Pangeran Ali memberikan pendapatnya.
“Kita bukan mau perang fisik, sebab marga suku IX Muara Aman adalah saudara kita sebangsa setanah air, apalagi masyarakat di Marga Ketahun khususnya Napal Putih sebagian asal usulnya berasal dari suku Rejang Marga Bermani yang berada di belakang Bukit Daun Curup. Kita ingin menyelesaikan masalah ini dengan strategi dan taktik serta dengan hati dan kepala dingin”, ujar Pangeran Ali.

Pendapat Pangeran Ali diperkuat oleh Maluha seorang cerdik pandai dari Muara Santan. Setelah itu tak ada lagi perdebatan, semuanya patuh pada Pangeran Ali, hanya terlihat Terusin di sudut ruangan yang sesekali mengelus-elus gagang keris dipinggangnya.

Rapat hari itu menghasilkan keputusan pembentukan tim yang langsung diketuai oleh Pangeran Ali untuk menghadapi gugatan Marga Suku IX.

Seminggu kemudian tibalah kedatangan rombongan Pangeran Zainul Abidin didampingi Controleur Rejang yang bermarkas di Kepahiang sementara Marga Ketahun didampingi Controleur Lais.

Atas perintah Pangeran Ali, masyarakat Napal Putih diminta menjamu rombongan tamu dan menyiapkan tempat menginap. Sulit dipercaya memang, bagaimana mungkin menjamu makan- minum untuk lawan berperkara.

Disitulah salah satu letak kelebihan Pangeran Ali dengan strateginya, apalagi rombongan Marga Suku IX tidak membawa bekal makanan, dia ingin menunjukkan persaudaraan walaupun disisi lain aset Marga Ketahun berupa tambang emas sedang terancam hilang.

Esoknya kedua-belah fihak berangkat menuju lokasi sengketa, seminggu sebelumnya Pangeran Ali sudah memerintahkan tim untuk mendirikan pondok darurat sebagai tempat menginap dilokasi-lokasi sengketa karena akan dilakukan spot check (pemeriksaan setempat) mengingat pemeriksaan lokasi itu diperkirakan tidak kurang akan menghabiskan waktu sekitar 3 hari.

Seluruh kebutuhan makan minum termasuk untuk rombongan Marga Suku IX dan Controleur Rejang dari Kepahiang ditanggung oleh tim Pangeran Ali. Beberapa makanan mewah berupa roti berlapis keju dan minuman beralkohol seperti bir merk Heinekens juga disuguhkan oleh Tim Pangeran Ali.

Makanan dan minuman mewah dizaman itu seperti roti dan bir dengan mudah didapatkan Pangeran Ali mengingat di Lebong Tandai saat itu beroperasi Mijnbouw Maatschappij SIMAU sebuah perusahaan tambang emas milik Belanda.

Hari ke 3 selesailah pemeriksaan batas-batas lokasi yang disengketakan. Pangeran Zainul Abidin yang terkenal jago pidato memberikan pandangannya atas seluruh rangkaian pemeriksaan, semua orang terkagum atas argumentasinya apalagi dengan fasih ia memaparkan sejarah leluhurnya sebagai fihak yang menurutnya berhak atas lokasi-lokasi itu.

Lalu tibalah giliran Pangeran Ali memberikan pendapatnya, suasana hening menunggu apa yang akan disampaikannya. sebenarnya tim Marga Ketahun khawatir jika mereka kalah apalagi Pangeran Ali tidak lahir dan besar di Marga Ketahun tentu pengetahuannya tentang sejarah tidak selengkap pemaparan Pengeran Zainul Abidin.

Ditengah pidatonya Pangeran Ali meminta semua rombongan yang hadir melihat peta lokasi buatan Belanda yang ada didepan , lalu ia menunjuk titik dimana tertulis ‘batu etok’ yang dalam bahasa Indonesia artinya batu retak.

Menurut Pangeran Ali, penyebutan nama batu etok di peta itu membuktikan bahwa lokasi itu milik suku Pekal Marga Ketahun karena menggunakan bahasa Pekal untuk menyebut batu retak. “Jika itu milik Marga Suku IX pastilah dipeta akan tertulis “buteu retok” sesuai dengan bahasa Rejang”, ujar Pangeran Ali.

Sontak anggota tim Marga Ketahun tersenyum sumringah, bertambahlah kekaguman mereka pada kecerdasan pemimpinnya, sementara perwakilan Controleur Rejang dan Controleur Lais manggut-manggut mendengar uraian yang logis dan masuk akal itu.

Sebulan setelahnya, keluar putusan Residen Bengkulu bahwa lokasi itu memang benar dan sah milik Marga Ketahun.

Entah ada hubungan apa tidak antara putusan itu dengan jamuan ‘mewah’ berupa bir dan roti keju dari Pangeran Ali kepada pembesar Belanda saat perkara itu berlangsung.

MENJADI CAMAT PERANG.
19 Desember 1948 Belanda melanggar perjanjian renville dengan melakukan agresi ke II. Hampir semua kota-kota penting dikuasai Belanda tak terkecuali Kota Palembang.

Menyikapi hal tersebut AK. Gani selaku Gubernur Militer Sumatera Bagian Selatan mengambil tindakan menyingkir ke Curup Rejang Lebong dan menjadikannya sebagai pusat Pemerintahan Militer mencakup Jambi, Bengkulu, Lampung dan Sumatera Selatan.

Tak lama dari Curup, pemerintahan militer dipindahkan ke Muara Aman Lebong. Terakhir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Lebong Tandai Napal Putih (saat ini masuk Kabupaten Bengkulu Utara). Karena Bukit Barisan yang berhutan lebat dan konturnya yang berbukit-bukit dipandang strategis sebagai basis perang gerilya.

Pilihan itu juga karena pertimbangan Lebong Tandai sebagai penghasil emas dapat dipakai sebagai logistik guna memenuhi kebutuhan biaya perang.

Setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan dari Lebong melewati Lubuk Temiang, Tanjung Bialu dan Muara Santan dengan menunggangi kuda tibalah AK. Gani di Napal Putih, A. K. Gani yang lahir di Palembayan, Agam, Bukit Tinggi itu langsung mencari Pangeran Ali sebab dia tahu Pangeran Ali masih sepupunya dikarenakan ayah Pangeran Ali yang bernama Badu Gelar Kari Mudo juga berasal dari Palembayan.

Waktu itu Pangeran Ali bukan lagi sebagai Pangeran Marga Ketahun karena sudah mengundurkan diri pada Desember 1947. Tapi penghormatan rakyat tidak berubah, bahkan masyarakat umum tetap saja memanggilnya Pangeran Ali.

Saat keduanya bertemu, mata mereka berkaca-kaca menahan haru. sebuah momen yang menggetarkan jiwa antara dua orang bersaudara yang belum pernah bertemu sebelumnya. Di Napal Putih pula dibentuk Kabupaten baru yang bernama Kabupaten Rejang-Lebong dan Ketahun Muko-Muko sebagai Bupatinya ditunjuklah Mohamad Hasan.

Rumah Pangeran Ali dipakai sebagai kantor Bupatinya, dari Napal Putih rombongan AK. Gani, Ali Amin Sekretaris Gubernur Militer Urusan Sipil, Mayor Amin Kaum Sekretaris Gubernur Militer Urusan Militer bergerak menuju Lebong Tandai sebagai pusat gerilya.

Sementara Mohamad Hasan beserta stafnya tetap berada di Napal Putih menjalankan roda pemerintahan, oya Lebong Tandai waktu itu diganti namanya oleh AK. Gani menjadi Bukit Barisan.

“Uang kertas senilai Rp. 20 (dua puluh rupiah) yang dicetak tanggal 1 Mei 1949 mencantumkan Bukit Barisan sebagai tempat dicetaknya”, tulis Sabi’i. M. Ali yang akrab dipanggil Jagok, anak Pangeran Ali dalam Memoar berjudul : Pangeran Mohamad Ali dan Anak-Anaknya Bersama Gubernur Mikiter Dr. AK. Gani Beserta Staf dan Rombongannya di Masa Revolusi, bertanggal 17 Agustus 1986.

Demikian juga Surat Ketetapan Nomor 54/49 tanggal 4 Juli 1949 yang ditandatangani oleh AK. Gani berisi pengangkatan Kapten Sjafuan Gatam sebagai Ketua Cabang Mahkamah Tentara Pesisir Utara, Bupati Radjemat sebagai Advisor dan Letnan Muda Sabi’i. M. Ali sebagai Jaksa Tentara juga mencantumkan Bukit Barisan (Lebong Tandai) sebagai tempat ditetapkannya.

“Ini perintah, kepada Tuan Pangeran supaya menerima tanggung-jawab sebagai Camat untuk wilayah Ketahun-Sebelat”, ujar Mohamad Hasan suatu sore.

Lama Pangeran Ali termenung sebelum mengangguk, bisa saja dia menolak apalagi mereka berdua teman lama sejak Mohamad Hasan bertugas sebagai Guncho di Lais saat jaman Jepang.

Mohamad Hasan yakin bahwa perintahnya tak akan ditolak, dia tahu betul sosok dihadapannya sejak jaman Belanda adalah pengobar semangat kebangsaan lewat PERTI dan Muhammadiyah. Dia tahu betul bahwa sampai tulang sumsum Pangeran Ali adalah merah putih.

Oya uniknya pengangkatan Pangeran Ali sebagai Camat tidak ada pelantikan dan tidak ada Surat Keputusan dan tanpa gaji hal itu dikarenakan situasi genting perang revolusi.

Sejak itu pula Pangeran Ali mendapat julukan sebagai Camat Perang, tugasnya adalah memberikan penerangan melalui rapat-rapat terbatas atau rapat umum supaya rakyat bersatu-padu mendukung proklamasi.

Dukungan dapat berupa tenaga, pikiran atau jika mampu dapat juga memberi uang dan hasil bumi berupa pisang, kelapa, beras, jagung untuk logistik perang melawan Belanda.

Pangeran Ali lebih dulu memberi contoh nyata dengan menjual 2 mobil truck dan 1 mobil penumpang merk Ford buatan Amerika miliknya dan uangnya diberikan kepada Muhamad Hasan selaku Bupati.

Pangeran Ali juga mendapat tugas berat yaitu menembus blokade Belanda di Muara Aman yang melarang beras dibawa keluar dari Muara Aman. Semula harga beras sekaleng di Napal Putih saking langkanya dihargai 22 gram emas atau senilai 36 ribu rupiah URIPSS (Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera Selatan) tapi berkat usaha Pangeran Ali mendatangkan beras dari Muara Aman maka harganya turun menjadi 1,5 gram emas perkaleng.

Wajar saja blokade Belanda dapat ditembus, sebab Pangeran Ali melakukan hubungan rahasia dengan Pangeran Marga Suku IX Zainul Abidin yang dulu pernah berhadap-hadapan dengannya dalam sengketa wilayah, tapi kemudian demi membela proklamasi keduanya bekerjasama bahu-membahu.

BON PERANG.
Sejak Lebong Tandai dan Napal Putih ditetapkan sebagai markas gerilya dan Pusat Pemerintahan Gubernur Militer Sumatera Bagian Selatan banyak Tentara reguler dan Laskar datang silih berganti.

Tidak hanya itu, rakyat korban perang juga berdatangan sebagai pengungsi karena Napal Putih dan sekitarnya dianggap aman dari pasukan musuh. Tentu kas pemerintah sangat terbatas untuk membiayai ini semua.

Disinilah nasionalisme diuji oleh sejarah, rakyat Marga Ketahun dengan segala keterbatasannya membantu menyediakan tempat tinggal dan makan-minum.

Napal Putih yang sejak dulu ramai dengan aktifitas perdagangan banyak didatangi oleh Pedagang dari luar bahkan dari luar Hindia Belanda.

Seorang perantau dari Pakistan yang bernama Tuan Gafur membuka toko sembako disana. Tentu saja situasi perang membuat aktifitas perniagaannya terganggu.

Apalagi Tuan Gafur juga ikut angkat senjata bergabung dengan pasukan AK Gani di Lebong Tandai.

“Saat Lebong Tandai dibombardir oleh Belanda dari udara pada Mei 1949, Tuan Gafur bertugas di front Air Siman. Tembak menembak antara pasukan kita dengan musuh berlangsung hingga malam hari”, ujar Amirudin cucu menantu Pangeran Ali saat berkisah pada Iwan Jaya anaknya.

Ketika perang usai karena perjanjian KMB tanggal 27 Desember 1949 situasi di Napal Putih berangsur-angsur normal. Betapa terkejutnya Tuan Gafur ketika pulang ke rumah keluar dari gerilya didapatinya warungnya yang dulu besar dan lengkap tapi kini terlihat kosong melompong.

Sang istri bercerita bahwa sepeninggal suaminya hampir tiap hari tentara dan laskar datang berhutang kebutuhannya seperti minyak, gula, beras, garam dan rokok.

“Tiap kali mereka berhutang saya selalu mencatatnya”, ujar istrinya saat melihat Tuan Gafur nampak masih bingung. Tuan Gafur tidak marah dia bahkan bangga bahwa istrinya turut mendukung perjuangan melawan musuh.

“Tak apalah, nanti kita cari rezeki lain lagi, yang harus disyukuri kita semua bisa berkumpul lagi dengan selamat”, ujar Tuan Gafur tersenyum sambil menggantungkan senapan Garand kaliber 30-06 Springfield andalannya didinding rumah.

Tahun 1954 ketika AK. Gani menjadi Menteri Perhubungan pada Kabinet Ali Sastroamijoyo, Tuan Gafur ke Jakarta menghadap AK. Gani, dia bermaksud meminta bantuan modal usaha karena dia baru saja menetap di Curup Rejang Lebong. Secara berseloroh Tuan Gafur mengatakan bahwa di tas besar yang dibawanya penuh dengan kertas bon tentara dan laskar saat Agresi Belanda II yang menyebabkan warungnya bangkrut.

AK. Gani mengerti bahwa Tuan Gafur tidak menagih hutang, sebab patriotisme Tuan Gafur sekuat baja, nyawanya sendiri pernah dipertaruhkan demi republik.

Seketika AK. Gani memanggil stafnya sambil memberi kertas memo lalu staf tersebut mengajak Tuan Gafur menuju gudang, betapa terkejutnya Tuan Gafur, ternyata AK. Gani memberinya 3 unit mobil truck merk Chevrolet. 2 mobil dijual Tuan Gafur di Jakarta sementara 1 unit lagi dibawa ke Curup sejak itu usaha Tuan Gafur berkembang pesat sebagai pemasok batu dan pasir untuk bahan bangunan.

HARI-HARI AKHIR.
Sejak pertengahan Desember 1970 Pangeran Ali memutuskan pindah ke Curup, dalam suratnya kepada Sabi’i tertanggal 1 Desember 1970 dia ingin menghabiskan sisa hidupnya didampingi Nurma anaknya.

Nurma bersama Thaib suaminya sejak tahun 1958 sudah menetap di Curup karena situasi di Napal Putih tidak aman akibat pemberontakan PRRI.

Mereka berdiam di daerah Dwi Tunggal membangun rumah di lahan seluas 1 hektar. Tanah itu dibeli dari Pangeran Panjang Kepala Marga Selupu seharga 200 gram emas.

Subuh hari Sabtu pukul 01.30 tanggal 5 Februari 1977 terdengar suara cukup keras dari kamar Pangeran Ali menyebut kalimat Tauhid. Seketika Nurma mendatanginya, dilihatnya ayahnya tersenyum dengan kedua tangan bersedekap diperutnya.

“Ternyata itu adalah senyuman terakhir ayah, beliau tidak ada keluhan sakit”, bercerita Nurma pada Sabi’i kakaknya.

Pangeran Ali yang lahir pada 19 Agustus 1896 meninggal dalam usia 80 tahun, 5 bulan, 5 hari dimakamkan di Curup tepatnya di TPU di belakang Lembaga Pemasyarakatan.

“Itulah akhir dari hidup seorang Pangeran Ali, yang pernah menjadi Pangeran Marga Ketahun, Pernah menjadi Kepala Kehakiman Kecamatan Ketahun-Sebelat, Kepala Jawatan Kehakiman Kewedanaan Muko-Muko, Menyumbangkan seluruh hartanya untuk kepentingan membela revolusi Agustus, termasuk rumahnya di Napal Putih pun juga diserahkan ke negara dan sudah dItetapkan sebagai cagar budaya dibawah Balai Pelestarian Budaya Wilayah VII”, ujar Ahmad Wali.

Waktu penulis berkunjung ke rumah bersejarah Pangeran Ali di Napal Putih tahun 2019 lalu tak terlihat piagam penghargaan dari Pemerintah atau ucapan terimakasih apapun kepada Pangeran Ali.

Tak ada bendera merah putih berkibar dihalamannya, Suasana gelap gulita dimalam hari karena negara (PLN) memutus jaringan listriknya.

Jika begitu, masihkah hari Pahlawan relevan untuk diperingati?

Yogyakarta 10 November 2024.

Terimakasih untuk Saudaraku Ahmad Wali, Agus ‘Sobron’ Sabri, Pak Hosen Gafur, Iwan Jaya, Aprizal Jaya, Kang Riswan, Wawan Riduan, Deddy Senthir, Pak Alaudin Dekan FH Unihaz dan Mas Agus ‘Ketoprak’ Setiyanto yang telah banyak membantu memberi informasi dan bahan untuk penulisan ini.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *