Jakarta – Wakil ketua dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) menilai semua argumentasi gugatan judicial review Terhadap ketentuan Presidential Threshold 20% memiliki kualitas Argumen yang sangat rasional, konstitusional dan objektif.
“Kita patut mengapresiasi keberanian moral para intelektual dan aktivis senior yang masih memberikan perhatian dan kontribusi pikiran kepada bangsa ini. Bahwa, setiap penyimpangan konstitusional yang dilakukan secara politik adalah bentuk pelanggaran yang mesti kita koreksi bersama”, tegas Sultan saat dimintai keterangan resminya di Jakarta pada Rabu (08/12).
Menurut mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu, apa menjadi Gugatan Mas Ferry dan para senior aktivis dan intelektual merupakan wujud akumulasi keresahan sosial politik masyarakat. Di mana tengah terjadi pendangkalan tafsir terhadap konstitusi oleh elit politik kita selama ini.
“Demi keadilan politik warga negara di negara hukum ini, MK seharusnya bisa menerima atau mengabulkan gugatan konstitusional teman aktivis itu. MK tidak boleh didikte oleh kekuatan politik tertentu, yang memungkinkan problem konstitusional tersebut berlangsung secara terus menerus dalam jangka panjang”, ujarnya.
Menurutnya, Mata rantai Kesalahan sejarah hukum yang berdampak sistemik dan serius ini wajib diputus secara hukum yang inkrah dan mengikat. Dan sudah banyqk gugatan sejenis sebelumnya. Sehingga tidak perlu lagi terjadi hasrat politik yang keliru oleh para elit di masa mendatang.
“Membatasi hak politik warga negara Adalah bentuk perampasan HAM dan mendelegitimasi nalar Dan prinsip konstitusi negara bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Keadilan, kebebasan dan kesetaraan bagi seluruh warga negara, tanoa terkecuali”, tutup Sultan.
Diketahui, Ferry Joko Yuliantono menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ferry menggugat presidential threshold dari 20 persen menjadi 0 persen. Sebab, aturan itu dinilai menguntungkan dan menyuburkan oligarki. Ferry memberikan kuasa kepada Refly Harun.
“Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi petitum Ferry dalam berkas yang dilansir website MK, Rabu (8/12/2021).