Jakarta, – Berdasarkan temuan lapangan dan penelitian yang dilakukan Majelis Kesehatan PP Aisyiyah bersama mitra menunjukkan indikasi kuat penggunaan kental manis sebagai susu untuk anak dan balita. Organisasi perempuan di bawah Muhammadiyah ini sejak 2020 telah melakukan survey dan pengumpulan informasi mengenai konsumsi kental manis oleh masyarakat di banyak kota di Indonesia. Hal ini diduga berkorelasi pada gizi buruk pada anak, terutama di pedesaan, wilayah pedalaman dan remote area di Indonesia. Promosi pada media mainstream dan sosial media juga masih menunjukkan adanya pelanggaran promosi, meski sudah jauh membaik.
Atas temuan tersebut, Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) menginisiasi layanan pengaduan untuk mendorong masyarakat turut serta mengawasi kesalahan penggunaan dan promosi produk kental manis yang bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan setiap saat melalui website www.aduansalahsusu.id ataupun melalui pesan d whatsapp yang terhubung dengan website.
Dalam paparan laporan pengaduan masyarakat yang terangkum melalui website www.aduansalahsusu.id yang diselenggarakan KOPMAS pada Kamis, 7 November 2024, terdapat 213 pengaduan yang masuk sepanjang April – 31 Oktober 2024. “Dari total pengaduan tersebut, sebanyak 196 terverifikasi sesuai laporan sesuai dengan ruang lingkup pengaduan yaitu kesalahan konsumsi sebanyak 115 laporan dan pelanggaran promosi kental manis sebanyak 81 laporan,” papar Sekjend KOPMAS, Yuli Supriaty.
Sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Nadia Yovani, S.Sos., M.Si. yang hadir dalam kesempatan itu mengatakan hasil temuan KOPMAS tersebut menunjukkan bahwa persoalan kental manis adalah hal serius yang harus mendapat perhatian. Di tengah masyarakat yang sangat sosial media oriented, namun tingkat partisipasi dalam mengawasi apa yang dikonsumsi masyarakat terutama anak-anak bisa dibilang masih rendah.
“Kita perlu mengenali budaya makan orang Indonesia dan kebiasaan-kebiasaannya. Kebiasaan makan dan mengakses teknologi. Perlu di akui bahwa teknologi itu dibuat untuk melayani kebutuhan masyarakat, bukan untuk mengubah kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, kampanye-kampanye kesehatan dan gizi harus memperhatikan kebiasaan masyarakat agar berhasil,” jelas Nadia.
Lebih lanjut Nadia mengatakan untuk mengatasi persoalan tersebut perlu sinkronisasi antar stakeholder terkait agar dapat mengurai gap implementasi kebijakan dalam membatasi promosi kental manis dengan realita masyarakat di lapangan. Nadia menekankan sinkronisasi memerlukan strategi khusus yang tepat dengan memperhatikan bahasa, nilai dan kebiasaan di tengah-tengah masyarakat agar kesadaran di masyarakat dapat terbangun.
“Oleh karena itu ada tiga elemen saya pikir yang perlu diperhatikan, satu bahasa, kedua nilai dan norma, ketiga moral dan kebiasaan,” terang Nadia.
Seperti diketahui, kental manis mengandung lebih banyak gula dan minim nutrisi. Berdasarkan Singapore Food Database, setiap 100 ml kental manis mengandung 50 gr gula.
Sejak 2018, pemerintah telah mengatur ketentuan konsumsi dan promosi kental manis melalui Peraturan BPOM No 20 tahun 2021 atas Peraturan BPOM nomor 31 tahun 2018 tentang label pangan olahan serta Peraturan BPOM no 26 tahun 2021 tentang Informasi Nilai Gizi. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa kental manis bukan untuk menggantikan air susu ibu dan tidak dapat dijadikan sebagai sumber gizi tunggal. Dalam hal promosi, dilarang menampilkan anak di bawah usia 5 tahun.
Peneliti di Human Nutrition Research Centre (HNRC), dr. Davrina Rianda, juga menegaskan untuk tidak memberikan kental manis kepada anak. Menurutnya, hal tersebut sama saja memberikan minuman gula kepada anak.
“Kalau saya boleh bilang, enggak boleh [memberikan kental manis], karena ini sama saja memperkenalkan es teh kepada anak. Jadi mungkin kita melihat kental manis sebagai gula. Mungkin itu cara paling mudahnya,” Tutur Davrina.
Davrina menyebut kandungan nutrisi dalam kental manis tidak dapat disamakan dengan susu. Sebab, berbagai nutrisi seperti kalsium dan vitamin D tidak dapat ditemukan pada kental manis.
“Kandungan susu yang kita mau dapatkan itu adalah ada kalsium, dan ditambahkan vitamin D. dan itu tidak ada di kental manis,” ungkap Davrina.
Dir. Bina Keluarga Balita & Anak, KemKPK/BKKBN, dr. Irma Ardiana, MAPS sangat mengapresiasi adanya pengawasan dari masyarakat seperti laporan Kopmas agar menjadi evaluasi bersama. Menurutnya, pengawasan dari masyarakat diperlukan sebagai pengawas agar memastikan kebijakan berjalan sebagaimana mestinya.
“Kami ingin sekali diberi masukan tentang hasil pengawasan dari kebijakan yang ada. karena ini salah satu simpul yang sangat penting untuk kita memastikan bahwa kebijakan itu betul-betul diimplementasikan,” ucap Irma.
Irma mengatakan temuan Kopmas dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah untuk menyosialisasikan bahaya kental manis. Terlebih, pemerintah saat ini memiliki perhatian secara khusus terhadap pemilihan pangan yang aman dikonsumsi oleh masyarakat.
“Kita akan adakan kampanye dan sosialisasi terkait dengan bahaya kental manis. karena kami juga concern pilihan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat terutama yang memiliki baduta dan balita,” kata Irma.
Kopmas merupakan koalisi yang telah berdiri sejak 2018 dan terdiri dari sejumlah lembaga serta komunitas yang peduli akan isu-isu kesehatan. Kopmas aktif melakukan advokasi terhadap isu dan permasalahan kesehatan masyarakat.(Iwan)