Alaku
Alaku
Daerah  

Iron Man, Secangkir Kopi, dan Realita Kehidupan

Cloud Hosting Indonesia

Oleh: Fatkur Rohman
Pengurus FK RT/RW Kota Bengkulu Bidang Keagamaan

Bengkulu, – Sore ini saya duduk di teras rumah, ditemani secangkir kopi hitam. Ibu jemari saya sesekali scroll layar hp yang kuota internetnya hendak habis sembari menghirup udara segar. Suasana yang tenang seringkali membawa pikiran melayang ke hal-hal yang tak terduga. Entah mengapa, sore ini pikiran saya tertuju pada sosok yang sedang viral di dunia maya: Iron Man.

Awalnya saya hanya iseng, ingin tahu apa fungsi sebenarnya robot yang kabarnya dibeli oleh seorang pejabat dengan harga fantastis, ratusan juta rupiah. Angka yang bagi sebagian orang terasa mustahil untuk sekadar dibayangkan. Namun, yang membuat saya terdiam justru bukanlah kecanggihan robot itu, melainkan tayangan-tayangan di media sosial.

Saya melihat Iron Man dalam narasi berbeda: bukan lagi simbol kekuatan, kemewahan, atau kelas atas. Di TikTok, ia justru digambarkan hidup bersama rakyat jelata. Ada Iron Man yang jadi petani, ada yang jadi buruh harian, ada pula yang menjajakan nasi goreng di pinggir jalan, bahkan ada yang ngamen untuk sekadar bertahan hidup.

Paling menusuk hati, ketika video memperlihatkan Iron Man duduk termenung di jalanan ibu kota, diiringi musik sendu. Saat itu, saya seperti ditampar realita. Apa artinya membeli mainan super mahal jika di luar sana masih banyak rakyat kelaparan? Apa gunanya berbangga dengan koleksi berkelas, sementara ada warga yang bahkan tak mampu membeli rumah layak?

Iron Man hanyalah simbol. Namun di balik simbol itu, ada pesan yang menggetarkan hati: jurang antara mereka yang bisa membeli kemewahan dan mereka yang masih berjuang demi sesuap nasi.

Lebih menyedihkan lagi, di tengah mahalnya harga kebutuhan pokok, rakyat pun masih harus menanggung beban pajak yang tidak ringan. Padahal negeri kita adalah negeri yang kaya sumber daya alam, tanahnya subur, lautnya luas, dan buminya penuh kekayaan. Saya bukan hendak membela aksi demo apalagi penjarahan yang anarkis dilakukan sekelompok orang, namun kejadian-kejadian itu seharusnya menjadi bahan evaluasi dan muhasabah diri bagi para pejabat negeri ini. Empati pada kondisi rakyat jauh lebih penting daripada mempertontonkan gaya hidup mewah.

Sebagai seorang yang dipercaya masyarakat untuk memimpin di tingkat RT, saya merasakan kegelisahan yang sama. Jangan sampai kita, para pemimpin, lupa bahwa di luar tembok rumah kita masih ada wajah-wajah yang menahan lapar, ada anak-anak yang belajar dalam keterbatasan, ada orang tua yang pasrah menatap masa depan.

Secangkir kopi sore ini mengajarkan saya satu hal sederhana: bahwa kepemimpinan bukan soal berapa mahal barang yang bisa kita beli, tapi seberapa dalam kita bisa merasakan perih yang dialami rakyat kecil.

Mungkin Iron Man tidak pernah tahu arti lapar, tapi kita, manusia yang dipilih untuk memimpin, seharusnya paham betul. Sebab Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

Pemimpin suatu kaum adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dan Allah ﷻ juga mengingatkan dalam Al-Qur’an:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi; dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
(QS. Al-Qashash: 77)

Allah mengingatkan kita agar tetap menjadikan akhirat sebagai tujuan utama hidup, bukan hanya mengejar kesenangan dunia. Meski begitu, Allah juga tidak melarang kita menikmati bagian dari nikmat duniawi, selama itu tidak membuat kita lalai.

Namun, ada syarat penting: gunakan nikmat itu untuk berbuat baik, jangan untuk kesombongan, jangan untuk menimbulkan kerusakan, dan jangan untuk menyakiti orang lain.

Dengan kata lain, ayat ini menegaskan bahwa:
Kekayaan adalah titipan, bukan untuk dipamerkan.

Nikmat dunia jangan membuat lupa tanggung jawab sosial.
Hidup ini bukan sekadar soal menikmati, tapi juga berbagi dan menjaga keseimbangan.

Pemimpin, pejabat, maupun rakyat biasa, semuanya dituntut berbuat baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kita.

Nikmat dunia boleh dinikmati, tapi jangan lupa akhirat. Kaya boleh, tapi jangan lupa berbagi. Berkuasa boleh, tapi jangan zalim.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *