Alaku
Alaku

Ratusan Produk Hukum Daerah Soal Pengakuan Masyarakat Adat Tak Berfungsi

Cloud Hosting Indonesia

Bengkulu, – Sebanyak 350 produk hukum daerah dalam bentuk Peraturan Daerah atau pun Surat Keputusan tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat adat di Indonesia belum memberikaan manfaat kepada masyarakat adat.

“Ratusan produk hukum daerah ini tak berfungsi dan bahkan disangkal oleh undang-undang,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi di komunitas adat Kutai Lawas Sumping Layang di Desa Kedang Ipil, Kalimantan Timur, Senin, 14 April 2025.

Kata Rukka, sejak terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak atas wilayah adat dan hutan adat. Dalam turunannya, setiap daerah mesti memberikan payung hukum untuk mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat adatnya. Sembari menunggu terbitnya undang-undang masyarakat adat yang selama 14 tahun ini, belum juga menjadi produk hukum nasional.

Itu mengapa, kemudian AMAN dalam rangka membantu kerja negara. Mereka pun menyiapkan seluruh dokumen terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Mulai dari data komunitas adat, peta wilayah adat, sampai dengan seluruh data potensi yang dimiliki oleh masyarakat adat.

“Jadi, meski konsep negara ini ada otonomi daerah, nyatanya praktiknya tidak ada. Perda-perda yang memayungi masyarakat adat, tak pernah difungsikan dan dijadikan alat untuk melindungi masyarakat adat,” kata Rukka.

Di zaman pemerintahan Presiden Joko Widodo, lanjut Rukka, fakta menujukkan bahwa meski di beberapa tempat sudah memiliki payung pengakuan dan perlindungin masyarakat adat. Sebanyak 11,7 juta hektare wilayah adat justru hilang.

Belum soal kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Catatan AMAN sepanjang tahun 2024 saja, setidaknya telah terjadi 121 kasus kriminalisasi. “Yang lebih buruk lagi. Tahun 2025, sampai Maret ini, sudah ada 113 kasus kriminalisasi. Jadi situasi makin memburuk,” kata Rukka.

Senada, Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Bengkulu Fahmi Arisandi menambahkan, situasi ini telah dirasakan oleh komunitas adat di Bengkulu. Kata dia, dari tiga kabupaten yakni Lebong, Rejang Lebong dan Seluma, yang telah memiliki perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Praktik kriminalisasi serta pengusiran terhadap masyarakat adat masih saja terjadi. “Di Seluma contohnya. Peta wilayah adat ada, dan sudah diakui perda. Tapi komunitas adat di sini malah dituduh mencuri di atas tanahnya sendiri,” kata Fahmi.

Atas itu, baik Rukka dan Fahmi berharap, percepatan pengesahan UU Masyarakat Adat bisa segera terealisasi. Sebab, tanpa payung yang lebih tinggi, maka produk hukum daerah yang memayungi masyarakat adat jadi tidak berguna.

“RUU Masyarakat adat sampai kini belum juga disahkan. Sementara situasi terus memburuk,: kata Rukka.(Iwan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *