
Bengkulu – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta, Pemerintah dapat meninjau ulang pelaksanaan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 Tahun 2018, tentang Penetapan Pedoman Harga TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun.
Selain itu juga mencabut kebijakan yang menjadi beban ekspor, berupa, domestic market obligation (DMO), market price obligation (DPO) dan Flush Out (FO) Minyak Sawit.
Pernyataan itu diungkapkan Ketua Umum DPP Apkasindo Dr. Gulat ME Manurung, dalam keterangan persnya didampingi Wakil Gubernur Bengkulu Rosjonsyah dan Ketua DPW Apkasindo Provinsi Bengkulu A Jakfar, seusai mengukuhkan kepengurusan DPW Apkasindo Provinsi Bengkulu periode 2022-2027, yang Diketuai A Jakfar dan Sekretaris Jon Simamora, bertempat di salah satu hotel berbintang di Kota Bengkulu.
Menurutnya, permintaan untuk mengevaluasi Permentan dan mencabut beberapa kebijakan ekspor yang merupakan beban itu, akan disampaikan melalui surat kepada Presiden dan pertemuan dengan para menteri terkait nantinya. Mengingat hal tersebut telah berimbas kepada petani sawit. Dimana terjadi penurunan harga beli tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit.
Terlebih di Provinsi Bengkulu saat ini, harga beli TBS-nya terendah se Indonesia. Bahkan dari penetapan harga terbaru oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu sebesar Rp. 1.945,- perkilogram, namun tidak berlaku di tingkat petani, lantaran harga beli ditingkat petani pada harga tertinggi sebesar Rp. 1.200,- perkilogramnya.
“Diketahui penetapan harga beli TBS Sawit itu, dihitung setelah pihak perusahaan mengeluarkan beban-beban yang dikeluarkan untuk ekspor. Dengan banyaknya kebijakan ekspor yang pihak pengusaha sawit tetap ingin mencari untung, telah mempengaruhi ekspor itu sendiri, jadi kebijakan beban ekspor tersebut harus dicabut, kecuali mempertahankan biaya keluar untuk pajak negara dan biaya ekspor, agar harga beli TBS Sawit bisa di dongkrak kembali di tingkat petani,” katanya pada Senin, (27/6).
Gulat menyampaikan, perlunya evaluasi Permentan No. 1 tersebut karena aturan tersebut mengikat pada pekebun mitra yang diketahui hanya 7 persen dan 93 persen pekebun milik masyarakat. Belum lagi dengan aturan itu juga pabrik kelapa sawit (PKS) tidak perlu patuh pada penetapan harga TBS Sawit oleh pemerintah daerah.
“Permentan itu harus diperkuat lagi, dengan tidak lagi membedakan harga beli TBS Sawit dari petani mitra dengan swadaya,” ucapnya.
Disisi lain Gulat menyampaikan, untuk persoalan minyak goreng agar pemerintah memberikan subsidi yang bersumber dari minyak sawit. Termasuk juga pendirian pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) di Provinsi Bengkulu.
“Kita patut bersyukur, Bengkulu ini merupakan Provinsi keempat akan dibangunnya PMKS yang didanai Petani Sawit Indonesia sebesar Rp. 8,6 milyar. Silakan tentukan lokasi untuk dibangun pabrik nantinya dan setelah itu nantinya mudah-mudahan masyarakat Bengkulu tidak lagi kekurangan minyak goreng,” tutup Gulat.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu akan mendukung aspirasi para petani kelapa sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), menginginkan agar Presiden Republik Indonesia bersama Kementrian terkait, untuk mengevaluasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) N0. 1 tahun 2018 tentang Penetapan Pedoman Harga TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun.
Pernyataan itu diungkapkan Wakil Gubernur Bengkulu Rosjonsyah dalam keterangannya didampingi Ketua Umum Apkasindo Dr. Gulat ME Manurung, seusai pengukuhan kepengurusan DPW Apkasindo Provinsi Bengkulu periode 2022-2027, bertempat di salah satu hotel berbintang di Kota Bengkulu.
“Saya sebagai Wakil Gubernur akan segera berkoordinasi dengan Gubernur, agar Pemprov Bengkulu juga menyurati Bapak Presiden dan Kementrian terkait, sehingga keberadaan Permentan yang hanya mengakomodir pekebun sawit mitra, bisa disempurnakan lagi, sehingga bisa mengatur untuk semua pekebun sawit, baik mitra maupun swadaya,” kata Wagub pada Senin, (27/6).
Dikatakan, pentingnya evaluasi Permentan itu karena keberadaan pekebun mitra di wilayah Povinsi Bengkulu hanya 7 persen. Sedangkan pekebun swadaya di wilayah Provinsi Bengkulu mencapai 93 persen, sehingga ketika kebijakan pemberlakukan harga beli TBS oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) tidak menyentuh pekebun swadaya.
“Kita kasian kepada petani yang mandiri, karena harga beli TBS Sawitnya dibawah harga ketetapan pemerintah daerah,” ujarnya.
Dibagian lain Wagub yang juga Pembina Apkasindo Provinsi Bengkulu menyatakan, adanya 3 kebijakan beban ekspor berupa domestic market obligation (DMO), market price obligation (DPO) dan Flush Out (FO) Minyak Sawit, memang memberatkan pengusaha, namun justru dibebankan kepada petani. Untuk itu Pemprov juga akan menyurati Presiden bersama Kementerian terkait agar meninjau ulang kebijakan dimaksud.
“Saya rasa memang itu solusi mengatasi permasalahan yang dihadapi petani sawit akhir-akhir ini. Mudah-mudahan saja terealisasi dengan harga TBS sawit bisa berlaku normal kembali,” pungkasnya.(09)
