Jakarta – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 14 (empat belas) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Rabu 30 Oktober 2024.
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Moh. Rahmat Alias Ome bin Joni Arif (Alm) dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
Kronologi perkara bermula pada Sabtu 10 Agustus sekira pukul 21.00 WIB di Jalan Arjuna Gang Kancil, Kelurahan Sawah Lama, Kecamatan Tanjung Karang Timur, Kota Bandar Lampung. Ketika tersangka dan saksi Irwan Prasetyo bin Idrus ditawari saksi Agus Maulana bin Tb Makruf (dilakukan penuntutan terpisah) 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Vega ZR warna hitam Tahun 2010 Nomor Polisi: BE-2768-AMF, Nomor Rangka: MH35D9003AJ980240 dan Nomor Mesin: 5D9980358 An. Fitriyan kepada saksi Irwan Prasetyo untuk digadai dengan berkata “ Wan tolong sih Wan, mau narok motor untuk ngirim anak istri di Serang ” dan saksi Irwan Prasetyo menolak dengan alasan saksi Irwan Prasetyo tidak memiliki uang.
Setelah mendengar pembicaraan tersebut, Tersangka merasa kasihan dan menerima gadai sepeda motor yang dibawa oleh saksi Agus Maulana tersebut senilai Rp600.000 (enam ratus ribu rupiah) tanpa dilengkapi dokumen sepeda motor tersebut berupa STNK atau BPKB. Setelah menerima sepeda motor dari Saksi Agus Maulana bin Tb Makruf tersebut, tersangka langsung pergi meninggalkan kediaman saksi Irwan Prasetyo.
Keesokan harinya pada hari Minggu tanggal 11 Agustus 2024 sekira pukul 09.00 WIB, sepeda motor tersebut tersangka gadaikan kembali kepada teman tersangka yang bernama Agam dengan harga Rp800.000 (delapan ratus ribu rupiah). Lalu pada hari Rabu tanggal 21 Agustus 2024 sekira pukul 01.00 WIB, Tersangja didatangi anggota kepolisian Polsek Teluk Betung Timur saat sedang berada di rumah temannya dan langsung melakukan penangkapan terhadap tersangka yang sebelumnya menerima gadai sepeda motor tersebut dari saksi Agus Maulana.
Kemudian tersangka menjelaskan bahwa sepeda motor tersebut sudah digadai ke Agam, lalu tersangka menghubungi Agam untuk mengambil sepeda motor tersebut dan Agam meminta tersangka untuk mengambil sepeda motor tersebut di tempat Agam bekerja, lalu tersangka mengambil sepeda motornya dan langsung dibawa ke kantor kepolisian Polsek Teluk Betung Timur untuk diproses hukum lebih lanjut.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Helmi, S.H., M.H. dan Kasi Pidum Maudin S.H., M.H. serta Jaksa Fasilitator Dina Arifiana, S.H dan Alex Sander Mirza, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Korban. Setelah itu, Korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung Dr. Kuntadi, S.H., M.H. Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Rabu, 30 Oktober 2024.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 13 perkara lain yaitu:
Terangka Carlo Billy Alvonso Tatara alias Carlo dari Kejaksaan Negeri Ambon, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka Celestinus Letsoin alias Sil dari Kejaksaan Negeri Tual, yang disangka melanggar Pasal 335 Ayat (1) Angka 1 KUHP tentang Pengancaman atau Pasal 212 KUHP.
Tersangka Masiah dari Kejaksaan Negeri Lombok Tengah, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) atau Pasal 310 Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Tersangka Muhammad Nasir alias Nasir bin Supianor dari Kejaksaan Negeri Palangkaraya, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Tersangka M. Saini bin Jumri dari Kejaksaan Negeri Kotawaringin Timur, yang disangka melanggar Primair Pasal 374 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Penggelapan dalam Jabatan Subsidair Pasal 372 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Penggelapan.
Tersangka Hendi Pratama bin Sutomo dari Kejaksaan Negeri Kota Pringsewu, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian
Tersangka Junedi alias Juned bin Sarno dari Kejaksaan Negeri Pringsewu, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian
Tersangka Agus Maulana bin Tb. Makruf (Alm) dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, yang disangka melanggar Primair Pasal 363 Ayat (1) ke-3 dan ke 5-KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan Subsidair Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Tersangka Andri Afriansyah bin Yusron HR dari Kejaksaan Negeri Palembang, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.
Tersangka Johanes David Joverd Lolaroh dari Kejaksaan Negeri Sangihe, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (2) KUHP Subsidair Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka Jidan Gumohung dari Kejaksaan Negeri Bolaang Mongondow Utara, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka Putra Kamil Albahtimi bin Arifin M. Said dari Kejaksaan Negeri Yogyakarta, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
Tersangka Baharuddin Kombih bin Alm. Abdurrahman dari Kejaksaan Negeri Subulussalam, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
Tersangka belum pernah dihukum;
Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
Pertimbangan sosiologis;
Masyarakat merespon positif.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum. (K.3.3.1)